Social Icons

Monday, July 29, 2013

Akulturasi Agama dan Budaya Lokal (Khususnya Ritual Menyangkut Bencana Alam)

DEWASA ini makna agama dan budaya yang ditafsirkan masih meninggalkan banyak perdebatan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya dua kelompok besar yang memaknai agama dan budaya dengan konsep yang berbeda. Kelompok pertama mengartikan dengan pendekatan untuk memahami agama secara literal, dan doktrinal dengan merujuk pada mazhab tertentu. Sementara kelompok kedua mengartikan dengan pendekatan untuk memahami agama tidak perlu merujuk kepada mazhab tertentu manusia dibekali akal budi untuk berijtihad sesuai konteks sosio-historisnya sendiri. kedua kelompok dalam konsepnya cenderung melangit. Padahal agama itu sendiri mempunyai ajaran yang universal sesuai konteks zaman dan situasi.

Opini saya ini diharapkan akan mampu menghasilkan pemahaman yang komprehensif tentang agama dan budaya, sehingga perbedaan pemahaman menjadi rahmat bukan laknat. Diskursus tentang pluralisme, lebih khusus lagi pluralisme agama, merupakan salah satu agenda keagamaan yang tampaknya senantiasa hangat untuk dibincangkan. Setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralitas tersebut. Ketegangan kreatif yang ditimbulkan dalam konteks pluralitas sering menjadi katalisator bagi wawasan baru dalam perkembangan agama.

Terkait dengan hal ini, sikap yang diambil oleh para pemeluk agama dalam merespon pluralitas agama memang tidaklah seragam sesuai dengan cara pandang terhadap realitas tersebut dan pemahaman atas sumber-sumber dasar keyakinan yang dianutnya. Tidak jarang sikap-sikap tersebut bertentangan. Bahkan sikap para pemeluk suatu agama tertentu juga bervariasi, meskipun masing-masing sikap yang berbeda itu berdasar pada atau mencari legitimasi dari sumber suci yang sama. Dalam diskursus pluralitas agama, khususnya dalam konteks Indonesia, substansi dalam agama dan budaya  menjelaskan adanya demokrasi atau kebebasan (free will) yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk beriman atau pun tidak kepada kebenaran (agama) yang diwahyukan merupakan Bukti dari kebebasan tersebut adalah bahwa tuhan tidak ‘menjadikan’ manusia semuanya beriman, walupun Dia memiliki kekuasaan untuk mencabut ‘hak memilih’ manusia. Namun kebebasan tersebut mengandung konsekuensi adanya pertanggung jawaban di akhirat kelak.
           
Ketika berbicara tentang toleransi, tentu tidak dapat memahaminya sebagai sikap yang memersilahkan kepada masyarakat untuk menganut apa yang mereka yakini sesuai dengan keinginan dan kehendak bebas. Dalam konteks ini, seandainya pun mereka mengetahui tentang ajaran agama yang benar dan mereka tetap bersikeras menolaknya, dalam hal ini kota tidak mempersoalkan hal tersebut menyatakan apa yang di dalam keyakinan tentang kemutlakan kebenaran ajaran agama, tetapi justru sebaliknya, menyatakan: mungkin kami yang benar, mungkin pula kamu; mungkin kami yang salah, mungkin pula kamu, kita serahkan saja kepada Tuhan untuk memutuskannya.

Agama mengajarkan kepada para pemeluknya untuk melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik seperti sembahyang, berdoa, dsb. Begitu juga dalam kepercayaan masyarakat  dalam tataran budaya terdapat kegiatan-kegiatan ritualistik seperti selamatan yang terwujud dalam sebuah upacara-upacara tertentu. Pada dasarnya sebuah upacara itu dilaksanakan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Hal ini seperti yang sering dilakukan oleh masyarakat  dengan harapan mereka terbebas dari pengaruh buruk dari kekuatan gaib dan senantiasa mendapatkan keselamatan.  Seiring dengan perkembangan agama mengalami akulturasi antara agama dan budaya lokal yang ada dan hidup sampai sekarang. 

Teori akulturasi dapat diartikan sebagai masuknya nilai-nilai budaya asing kedalam budaya lokal tradisional.  Keduanya saling bertemu, yang luar mempengaruhi yang telah mapan untuk menuju suatu keseimbangan. jalannya proses akulturasi dalam suatu kebudayaan dapat menjelaskan bagaimana respon masyarakat terhadap akulturasi tersebut.  Dalam proses akulturasi budaya Agama dan budaya lokal, sebagian besar masyarakat menerima adanya proses akulturasi ini dan merespon dengan baik, dengan harapan dalam pelaksanaan upacara budaya tidak terdapat pelanggaran terhadap agama. Bagi masyarakat yang beragama lemah merespon secara negatif, karena mereka menginginkan keutuhan dan kemurnian pelaksanaan upacara budaya. Sedangkan bagi sebagian masyarakat merespon secara positif saja, karena sebenarnya mereka juga tidak setuju dengan kepercayaan animisme dan dinamisme.

Budaya atau tradisi dilaksanakan berkaitan untuk memberi persembahan kepada arwah leluhur atau penguasa jagat. Tradisi budaya telah ada sebelum agama berkembang dalam masyarakat  sehingga

budaya dalam pandangan sebagian masyarakat beragama merupakan aktifitas yang mendekati kepada perbuatan syirik sehingga perlu dihilangkan atau diubah dengan pola yang lebih agamis. Akan tetapi budaya merupakan tradisi yang telah lama mengakar sehingga merupakan hal yang sulit untuk menghilangkannya. Aktifitas ritualistik menarik untuk ditelaah karena didalamnya terdapat akulturasi antara agama dan budaya. Upacara budaya biasanya didasarkan pada keyakinan atau dorongan naluri yang kuat atau adanya perasaan kuatir akan hal-hal yang tidak diinginkan (malapetaka), tetapi kadang-kadang juga hanya merupakan suatu kebiasaan rutin saja yang dijalankan sesuai dengan adapt keagamaan atau tradisi yang berlaku.  Nilai-nilai agama dan budaya lokal berpadu dalam upacara tradisional  yang dilaksanakan merupakan norma atau aturan bermasyarakat dan etika berinteraksi social yang sesuai dengan tuntunan agama dalam kerangka hubungan antar sesama masyarakat (horizontal).

Kenyataan lain yang membuktikan bahwa upacara tradisional telah tersentuh oleh ajaran agama seperti masuknya unsur tahlil, dzikir, penentuan waktu dan maksud penyelenggaraan yang dikaitkan dengan hari besar Islam mengakibatkan efek “sedekah bumi” terkadang mampu menimbulkan getaran emosi keagamaan. Untuk mendeskripsikan perilaku sosial masyarakat yang beragama namun masih melaksanakan tradisi yang dipengaruhi oleh kepercayaan local menjadi realitas sosial masyarakat yang masih menjaga kearifan lokalnya demi kelangsungan hidup ritus peninggalan para leluhurnya.  bahwasanya upacara tradisi ini biasanya diadakan untuk menghormati, mendoakan serta mengenang terhadap perjuangan hidup, yang dipercayai oleh masyarakat sekitar.

Rangkaian dalam upacara tradisi ini sebagian merupakan hasil akulturasi antara agama dan budaya lokal. Semua itu diupayakan agar ajaran agama bisa berdialog dengan lokalitas yang sudah mendarah daging dengan masyarakat. Berkat keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya baru, pada akhirnya kedua kebudayaan yang berbeda itu dapat berkembang secara beriringan tanpa menimbulkan konflik yang serius.  Hal ini terbukti dengan adanya tahlilan, shalawatan, dan pembacaan do'a-do'a Islam pada pelaksanaan upacara tradisi.

Selain itu, kebudayaan lokal seperti penggunaan sesaji dalam upacarapun masih dipertahankan.  Sehingga dalam pendekatan antropologi Fenomenologis, menunjukkan bahwa latar belakang Bentuk akulturasi agama dengan budaya lokal ada dua kategori. Pertama adalah substitusi yaitu unsur lama diganti dengan unsur baru yang memenuhi fungsinya dengan melibatkan perubahan struktur yang kecil saja. Kedua adalah tradisi, yaitu unsur yang baru ditambahkan pada unsure lama diikuti atau tanpa diikuti perubahan structural.

Di Indonesia peran dari organisasi masyarakat keagamaan terhadap pembauran sangatlah signifikan, dimana salah satunya adalah Nahdlatul Ulama (NU),  NU lebih banyak berbaur dengan masyarakat bawah di pedesaan. Sehingga tidak heran bila NU lekat dengan bahasa tradisional. Meski sekarang ini terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan, sebagai respon NU terhadap perkembangan dunia modern. Namun NU tetaplah organisasi yang getol mempertahankan tradisi-tradisi Nusantara, asalkan manfaatnya jelas dan bisa diselaraskan dengan nilai-nilai keislaman. Salah satu contoh konkret yang bisa kita lihat sampai saat ini adalah budaya tahlilan. Meski ormas-ormas lain gencar menuduh tahlilan bi’dah, karena tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, namun NU tetap kuat dengan perinsipnya, selama mengandung maslahah bagi masyarakat dan bisa diselaraskan dengan nilai-nilai ke-Islaman, tanpa masalah. Dalam sejarah Nusantara masa lalu, tahlilan berasal dari upacara pribadatan (selamatan) yang dilakukan nenak moyang bangsa Indonesia yang mayoritas dari mereka adalah penganut agama Hindu dan Budha. Upacara tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan do’a kepada orang yang telah meninggal dunia.

Namun secara praktis tahlilan yang dilakukan oleh nenek moyang terdahulu dengan tahlilan yang dilakukan oleh warga NU jauh berbeda, yakni menganti semua bacaan upacara selamatan tersebut dengan bacaan-bacaan-bacaan Al-Quran, Shalawat dan dzikir-dzikir kepada Allah SWT. Manfaatnya, selain mendekatkan diri kepada Allah SWT. budaya tahlilan juga merekatkan relasi sosial masyarakat.

Itu hanya salah satu contoh bahwa NU begitu menghargai kebudayaan Nusantara. Selama mengandung maslahah dan bisa diselaraskan dengan ajaran Islam, kebudayaan apapun harus tetap dipertahankan. Sebab kebudayaan merupakan kekayaan bangsa yang harganya begitu mahal. Bahkan suatu bangsa tanpa kebudayaan tak bernilai di mata dunia internasional. Di tengah kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat, Agama harus mampu memainkan perannya secara siginifikan di bidang kebudayaan. Agar aset-aset kekayaan bangsa Indonesia tidak tergerus oleh budaya global yang notabene banyak dipengaruhi budaya-budaya Barat.

Terutama menyangkut kerekatan relasi sosial antarsesama bangsa. Kemajuan teknologi yang begitu pesat menjadi ancaman serius bagi budaya silaturrahim yang sejak dulu telah membudaya di bumi Nusantara. Komunikasi melalui HP, Facebook, Twiter dan yang sejenis, perlahan tapi pasti telah merusak tatanan kebudayaan Nusantara. Meski secara jujur kita akui ada hal positifnya. Hanya saja jangan sampai kita terlelap dalam gelamur kebudayaan modern, sehingga lupa akar kebudayaan Nusantara yang mestinya kita lestarikan.

Hal mendasar yang begitu terasa jauh saat ini dari realitas dilingkungan kita adalah budaya gotong royong. Dulu budaya ini mengakar kuat dalam tradisi Nusantara. Sekarang hanya tinggal kenangan, sebab masyarakat sibuk dengan ambisi individualismenya masing-masing dan mengukur segalanya dengan upah (uang). Di desa sekalipun kita sangat sulit menemukan budaya gotong royong dilakukan oleh warga. Sementara gotong royong dahulu begitu akrab didengar di pedesaan. Suatu contoh, di masa lalu orang desa yang hendak memperbaiki kandang hewan peliharaan hanya butuh kentongan sebagai alat bunyi yang menandakan bahwa keluarga tersebut sedang butuh bantuan, sehingga ketika kentongan tersebut bunyikan warga datang berhamburan untuk membantunya. Kemudian mereka berbaur bersama begitu akrab tanpa tanpa berharap upah. Sekarang budaya seperti ini sudah tidak jelas rimbanya. Oleh karena itu, organisasi sosial keagamaan harus bisa memainkan perannya secara signifikan dalam rangka menjaga dan melestarikan kebudayaan Nusantara. Jangan sampai aset kebudayaan yang begitu banyak dimiliki Indonesia di masa lalu hilang ditelan globalisasi budaya. Negara kita dikenal dengan negara multikultural, kita tidak ingin julukan ini hanya manis di masa lalu, namun sekarang kita hanya gigit jari karena kelalaian dalam menjaga kebudayaan tersebut.

Budaya dan agama bervariasi di seluruh dunia, ada sebagai politeistik dan sinkretis untuk sebagian besar masyarakat dan agama. Dampak yang menciptakan ilmu pengetahuan memiliki gagasan untuk bekerja dengan masyarakat (jika dikomunikasikan dengan benar), bukan melawan mereka. Klaim bahwa nilai dapat "bertentangan dengan ilmu pengetahuan" kadang-kadang bisa menjadi kenyataan di daerah tertentu dari dunia, namun jika kesadaran ini dibawa ke perhatian pemerintah daerah sebelum saat bencana maka pemerintah dapat beroperasi sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat.

Beberapa tanggapan memberikan pendekatan yang sangat pragmatis mengenai gagasan bahwa pengaruh budaya dan agama selama atau sebelum bencana dapat membantu dengan mitigasi risiko bencana. Dimana pemerintah daerah dapat  melakukan sosialisasi  kepada masyarakat mengenai apa yang setiap orang harus lakukan ketika bencana terjadi misalnya mengenai prosedur evakuasi. Dimana Sampai sekarang, telah terjadi kekurangan penelitian pengaruh budaya dan agama terhadap tanggapan mitigasi bencana alam. Oleh karena itu ada kebutuhan untuk melakukan penyelidikan retrospektif dari pengaruh bencana alam di masa lalu, dan juga untuk memahami sejauh mana kebutuhan untuk penelitian ke dalam pengaruh budaya dan agama yang dihargai oleh para profesional mitigasi risiko saat ini.

Hubungan antara agama sinkretis ortodoks dan kepercayaan tradisional, roh unik dan spektrum besar tindakan oleh penduduk setempat dikendalikan oleh kepercayaan budaya dan agama mereka. pengaruh agama dapat dipahami melalui analisis isi berfokus pada kata-kata kunci dari makna keagamaan. Di sisi lain, berbagai terminologi yang digunakan untuk menggambarkan dan menafsirkan pengaruh budaya berarti bahwa pendekatan yang berbeda diperlukan.  Bencana secara ilmiah telah membuat sedikit usaha untuk mempelajari dan membandingkan pengalaman lintas-budaya, perspektif dan persepsi dari masyarakat yang terkena dampak dan mengancam dalam bencana alam. Namun, setiap penduduk yang dipengaruhi oleh bahaya akan memiliki lampiran tersendiri sosial dan budaya tertentu. Oleh karena itu, dalam rangka untuk mendapatkan penilaian yang valid mengenai kerentanan dan risiko, ide-ide dan konsep budaya dan masyarakat harus dipertimbangkan. Sebagian budaya d mempengaruhi kerentanan masyarakat, sangat penting untuk mitigasi risiko bahwa alam dan sosial tidak terpisah satu sama lain, karena melakukan hal itu mengundang kegagalan untuk memahami beban tambahan dari bahaya bencana alam.

Meskipun definisi berbagai budaya dan agama ada dalam antropologi, sosiologi dan sastra bencana, istilah budaya dan agama masih dapat dengan mudah disalahartikan. Konsep budaya dapat dilihat dalam dua pengertian, salah satunya yang menjadikan budaya merupakan perwujudan dari masyarakat, berubah dan menempatkan alasan di balik berbagai benda dan lainnya yang murni perilaku, alasan menempatkan dibalik tindakan dan motif. Banyak ahli berpendapat bahwa agama dan budaya saling terjalin dengan erat (misalnya Foucault dan Carette 1999, Scupin 2008, Kolbl-Ebert 2009). Namun dari perspektif pengaruhnya terhadap bencana, pemahaman saya adalah bahwa agama berbeda dari budaya dan bahwa itu adalah aspek tertentu dalam masyarakat, biasanya dihasilkan dari hal-hal tersembunyi yang bersejarah dalam budaya itu sendiri atau dari tempat-tempat yang berbeda. perbedaan budaya dan agama menekankan bagaimana reaksi yang muncul mungkin berbeda dari orang ke orang dan dari acara ke acara di seluruh dunia.Kepercayaan pada kekuatan gaib atau makhluk yang mempengaruhi perilaku seseorang dan / atau pemahaman tentang dunia di sekitar mereka melalui ajaran tertentu atau buku-buku. Pengaruh ini tergantung pada di mana masyarakat dan / atau orang yang berada pada spektrum keagamaan dari ortodoks untuk adat dan monoteistik yang politeistik. Dua spektrum ini menyoroti bagaimana agama dan budaya tidak sepenuhnya mengikat satu atau yang lain. Masyarakat dan individu memiliki berbagai langkah ketat yang terkait dengan agama mereka dan cenderung  mempengaruhi orang untuk derajat yang berbeda. Masyarakat dan individu juga dapat menyelenggarakan beragam ritual pada satu waktu, hal ini dikenal dengan sebutan masyarakat sinkretis.

Sayangnya masyarakat tidak hanya mempunyai satu set skenario, perspektif atau kerentanan untuk setiap peristiwa atau bahaya. Hal ini disebabkan berbagai faktor seperti: usia, jenis kelamin, pengalaman, status sosial atau keyakinan agama mengubah cara orang berperilaku dalam skenario tertentu. Dengan demikian, setiap komunitas akan berisi ukuran seperti berbagai kerentanan, perspektif dan keyakinan bahwa adalah mungkin, di beberapa tempat, bahwa setiap orang dapat memiliki kelebihan dan kekurangan dalam skenario yang berbeda dan peristiwa bencana alam. Hal ini menunjukkan bahwa untuk manajemen bencana yang efektif, budaya tidak boleh dianggap sebagai kebodohan, takhayul atau keterbelakangan (Chester 2005), dan bahwa pentingnya potensi pengetahuan tradisional yang sering dilupakan (McAdoo et al 2008). Dalam banyak ajaran agama, gagasan bencana alam memainkan peran utama, baik sebagai tindakan Tuhan, suatu bentuk retribusi atau kadang-kadang konsekuensi dari dosa untuk non-beriman. Contoh yang paling terkenal dari ide ini ditemukan dalam teks-teks suci pada beberapa agama ibrahimik.

Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai tipikal yang spesifik bila dibandingkan dengan ajaran Islam di berbagai negara Muslim lainnya. Menurut banyak studi, Islam di Indonesia adalah Islam yang akomodatif dan cenderung elastis dalam berkompromi dengan situasi dan kondisi yang berkembang di Indonesia, terutama situasi sosial politik yang sedang terjadi pada masa tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Indonesia. Disinilah terjadi dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia, sehingga dikenal sebagai “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia”. “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” dimaknai sebagai Islam yang berbaju kebudayaan Indonesia, Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.

Meskipun Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan kekhasannya dan pada waktu yang sama sangat berpengaruh di bumi Indonesia yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme. Dengan demikian, wajah Islam yang tampil di Indonesia adalah wajah Islam yang khas Indonesia, wajah Islam yang berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini tidak bisa terlepas dari bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Islam beserta ajarannya masuk ke Indonesia dengan cara penetrasi, dengan cara yang sangat laten dan membaur dengan berbagai tradisi yang telah ada dan eksis.] Dengan kata lain Islam masuk ke Indonesia tanpa menimbulkan hentakan shoc culture, apalagi memicu kontroversi, sesuatu yang tidak lazim bila dibandingkan dengan sejarah munculnya beberapa ideologi besar di dunia. Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan hasil dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam kenyataannya, Islam di Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak simpel, walaupun sumber utamanya tetap pada al-Quran dan al-Sunnah. Islam Indonesia bergelut dengan kenyataan negara-bangsa, modernitas, globalisasi, kebudayaan lokal, dan semua wacana kontemporer yang menghampiri perkembangan zaman dewasa ini.

Dalam realitanya memang terdapat berbagai tradisi umat Islam di banyak negara Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya yang menimbulkan “kontroversi” dari perspektif hukum tentang boleh atau tidaknya atau halal atau haramnya untuk melaksanakan ritual tradisi yang menyangkut budaya lokal. Di antara tradisi yang menimbulkan kontroversi itu antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti peringatan maulid Nabi s.a.w., peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Muharram, dan lain-lain.

Kontroversi-kontroversi yang menyelimuti peringatan-peringatan tersebut tidak bersifat tunggal, namun memberikan horizon pilihan yang memungkinkan kita untuk bersikap arif dan bijaksana terhadap pihak yang berbeda pahamnya. Lalu kalau sekarang ini umat beragama memiliki koleksi berbagai macam budaya tradisional, apakah hal itu mau dikatakan sebaga bid’ah? Tentu tidak, karena macam budaya tradisional hanyalah sarana, bukan bagian dari ritual ibadah. Dan keberadaan berbagai macam budaya itu justru akan membuat umat beragama semakin mengenal agama dan budaya, bahkan seharusnya umat beragama lebih banyak lagi menulis dan mengkaji budaya tradisional itu sehingga sejalan dengan agama.

Penutup

Sebagai bagian dari umat beragama, barangkali kita ada di salah satu pihak dari dua pendapat yang berbeda. Kalau pun kita mendukung salah satunya, tentu saja bukan pada tempatnya untuk menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai bahan baku saling menjelekkan, saling caci dan saling menghujat, saling merendahkan. Perbedaan pandangan tentang hukum merayakan ritual budaya yang berkaitan dengan keagamaan. Suka atau tidak suka, memang telah kita warisi dari zaman dulu. sehingga bukan masanya lagi buat kita untuk masih saja meributkan perbedaan pendapat terhadap masalah furu’iyyah tersebut. Sebaliknya, kita justru harus saling membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan masing-masing. karena perbedaan pandangan sudah pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya. sehingga kita terjebak untuk terus bertikai. (*)

Oleh: Suryo Purnomo, S.IP

No comments:

Post a Comment